Lulus dari pendidikan tinggi adalah impian bagi banyak anak muda. Dengan gelar sarjana di tangan, harapannya mereka bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Namun, kenyataan di dunia kerja tak seindah yang diajarkan di bangku kuliah. Perusahaan semakin selektif dalam merekrut tenaga kerja, sementara lapangan pekerjaan semakin menyempit.
Banyak investor asing memilih hengkang dari negeri ini. Alasan klasiknya: ekonomi yang lesu, birokrasi yang berbelit, dan tenaga kerja yang dianggap "mahal" karena sering demo dan banyak tuntutan. Ironisnya, sistem pendidikan di negeri ini seolah hanya mencetak lulusan yang siap menjadi pekerja, bukan pengusaha. Anak-anak muda diajarkan bagaimana menjadi karyawan yang baik, tapi tidak diajarkan bagaimana menciptakan usaha sendiri.
Sekolah yang Tidak Mempersiapkan Masa Depan
Pendidikan formal seharusnya membekali siswa dengan keterampilan yang relevan dengan zaman. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Kurikulum yang terus berubah setiap kali menteri baru menjabat membuat generasi muda kebingungan. Mereka dipaksa menghafal teori yang usang, tetapi tidak diberi bekal bagaimana menghadapi tantangan dunia kerja sesungguhnya.
Alih-alih membentuk pola pikir inovatif dan kreatif, sistem pendidikan lebih menekankan kepatuhan dan hafalan. Akibatnya, para lulusan justru gagap saat masuk dunia kerja. Mereka berharap perusahaan melatih mereka dari nol, sementara perusahaan menginginkan pekerja yang sudah siap pakai. Akhirnya, yang terjadi adalah pengangguran intelektual—mereka punya gelar, tetapi tidak punya keterampilan yang dicari industri.
Susahnya Membangun Usaha Sendiri
Bagi mereka yang sadar bahwa mencari kerja bukan satu-satunya pilihan, jalan menjadi pengusaha juga bukan perkara mudah. Seorang anak muda yang ingin membuka usaha harus menghadapi berbagai rintangan:
1. Premanisme
Berkedok Ormas
Mau buka warung, toko, atau usaha kecil-kecilan? Bersiaplah didatangi preman
yang mengatasnamakan "ormas." Mereka datang dengan dalih uang
keamanan, padahal yang mereka lakukan adalah pemerasan terselubung.
2. Birokrasi
yang Memeras Pengusaha Kecil
Mau usahanya legal? Siapkan uang lebih untuk mengurus izin ini-itu yang
sebenarnya bisa dibuat lebih sederhana. Peraturan yang tidak mendukung
pengusaha kecil justru membuat mereka mati sebelum berkembang.
3. Pajak
yang Membunuh Bisnis Kecil
Pajak usaha kecil justru lebih mencekik dibanding perusahaan besar yang punya
banyak cara menghindari pajak. Pengusaha kecil dikenakan berbagai pungutan yang
akhirnya menggerus keuntungan mereka sebelum sempat berkembang.
Dengan kondisi seperti ini, wajar jika banyak orang memilih bekerja di luar negeri. Mereka yang punya modal lebih baik berusaha di negeri orang dan mengamankan uangnya untuk hari tua. Di negeri sendiri, orang miskin hanya dianggap beban, sementara orang kaya dipuja dan dihormati.
Janji Manis yang Selalu Berulang
Setiap pemilu, janji menciptakan lapangan pekerjaan selalu digaungkan. Kenyataannya? Hanya omong kosong. Bukannya membuka lapangan kerja, kebijakan justru mempersempit kesempatan bagi anak muda untuk berkembang. Korupsi masih merajalela, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, dan nilai mata uang terus melemah.
Mau bertahan di negeri sendiri? Bersiaplah menghadapi realita bahwa pendidikan tidak menjamin pekerjaan, usaha tidak menjamin keuntungan, dan janji pemimpin hanyalah angin lalu. Di negeri ini, yang dihormati adalah mereka yang punya uang, bukan mereka yang berusaha keras.
Mungkin, mencari rezeki di negeri orang dan pensiun di negeri sendiri memang pilihan yang lebih realistis.