Translate

Minggu, 23 Maret 2025

Kepribadian Ganda Masyarakat Indonesia dalam Dunia Pendidikan

 

Pendidikan selalu menjadi topik hangat yang menarik untuk dibahas di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat berteriak bahwa gaji guru harus lebih tinggi, karena tanpa mereka, anak-anak takkan mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, di sisi lain, mereka juga mengecam biaya sekolah yang mahal, keberadaan buku LKS yang harus dibayar, serta pungutan kegiatan sekolah yang dianggap membebani. Kepribadian ganda ini mencerminkan kontradiksi yang mengakar dalam pola pikir masyarakat tentang pendidikan: menginginkan pendidikan berkualitas, tetapi tidak mau membayar harga yang sepadan.

Sekolah: Lembaga Pendidikan atau Ladang Bisnis?

Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, sekolah sejatinya adalah sebuah industri jasa. Tempat yang menyediakan layanan pendidikan dengan menukar uang sebagai kompensasi atas tenaga, fasilitas, dan ilmu yang diberikan. Dalam ekosistem ini, sekolah negeri dan swasta sebenarnya memiliki tujuan yang sama: memberikan pendidikan, tetapi dengan model bisnis yang berbeda.

  • Sekolah Negeri beroperasi dengan dana yang berasal dari pemerintah. Karena anggaran harus dibagi untuk banyak sekolah, fasilitas yang tersedia sering kali terbatas. Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menuntut pendidikan gratis, sekolah negeri berusaha keras menyeimbangkan kualitas pendidikan dengan minimnya pemasukan. Guru-guru PNS mendapatkan gaji dari negara, tetapi bagaimana dengan guru honorer? Mereka sering kali menerima upah yang jauh dari kata layak karena sekolah negeri tidak memiliki sumber pemasukan lain selain dana dari pemerintah.
  • Sekolah Swasta beroperasi dengan sistem bisnis yang lebih transparan. Biaya sekolah yang lebih mahal digunakan untuk memberikan fasilitas yang lebih baik serta menggaji guru dengan lebih layak. Sekolah internasional adalah contoh nyata bagaimana pendidikan bisa berjalan lebih optimal ketika dikelola secara profesional tanpa tekanan dari konsep "gratis" yang digaungkan oleh masyarakat.

Guru Honorer: Realitas yang Dihindari Masyarakat

Masyarakat sering kali terenyuh dengan kisah guru honorer yang hanya dibayar ratusan ribu rupiah per bulan. Mereka mengutuk sistem yang tidak memberikan penghargaan layak kepada para pendidik ini. Namun, realitanya, pemerintah hanya menggaji guru-guru PNS, sementara guru honorer tidak masuk dalam anggaran utama. Lalu bagaimana sekolah bisa membayar mereka?

Jawabannya sederhana: dari biaya yang dikumpulkan dari orang tua murid. Ketika sekolah mencoba mencari sumber pemasukan tambahan dengan menjual LKS, mengadakan kegiatan berbayar, atau mencari dana dari komite sekolah, masyarakat kembali marah. Mereka ingin guru digaji tinggi, tetapi tidak ingin membayar lebih untuk pendidikan anak-anak mereka. Sebuah kontradiksi yang terus terjadi dari tahun ke tahun.

Kesadaran yang Perlu Dibangun

Masyarakat perlu memahami bahwa pendidikan berkualitas membutuhkan dana yang sepadan. Jika ingin guru digaji tinggi, fasilitas diperbaiki, dan sistem pendidikan berkembang, maka ada harga yang harus dibayar. Entah itu melalui pajak yang lebih tinggi untuk subsidi sekolah negeri atau dengan menerima bahwa sekolah swasta memang memiliki tarif yang berbeda karena kualitasnya.

Sekolah bukanlah lembaga amal yang bisa berjalan tanpa biaya. Pendidikan adalah investasi, bukan sekadar pengeluaran. Selama masyarakat masih terjebak dalam pola pikir kontradiktif—menginginkan pendidikan murah tetapi berkualitas tinggi—maka masalah ini tidak akan pernah menemukan titik terang.

Kesimpulan

Sistem pendidikan Indonesia masih berada dalam bayang-bayang dualitas yang membingungkan. Masyarakat harus mulai berpikir lebih realistis: jika ingin pendidikan berkualitas, maka perlu ada kesadaran bahwa segala sesuatu membutuhkan biaya. Jika ingin guru sejahtera, maka harus ada sumber pemasukan yang jelas. Dan jika ingin perubahan yang nyata, maka pola pikir tentang "sekolah harus gratis tetapi berkualitas tinggi" harus segera diperbaiki.

AKU CINTA RUPIAH: Antara Nasionalisme dan Realitas Menyedihkan

Kita semua ingat lagu masa kecil yang mengajarkan untuk mencintai rupiah, mata uang kebanggaan Indonesia. Namun, apakah cinta saja cukup ket...