Di sebuah peternakan kecil yang dikelilingi ladang luas, hiduplah seekor kambing tua yang kurus. Bulu-bulunya sudah kusam, tubuhnya tidak lagi setegap dulu, namun suaranya tetap lantang dan penuh percaya diri. Kambing tua ini tidak hidup sendirian, ia dikelilingi oleh sekumpulan ayam yang setiap hari berkumpul di sekitarnya, mendengarkan ceritanya yang luar biasa.
Kambing tua ini punya kebiasaan: membanggakan dirinya. Dengan suara serak tapi penuh wibawa, ia sering berkisah tentang kehebatannya di ladang. Katanya, dulu ia adalah yang paling ditakuti di sana. Tak ada hewan lain yang berani menantangnya. Bahkan, katanya lagi, para petani sangat menghormatinya karena susu yang ia hasilkan jauh lebih berharga dibandingkan telur-telur yang ayam-ayam keluarkan setiap hari.
“Telur kalian itu banyak, tapi harganya murah!” serunya dengan angkuh. “Tapi susuku? Mahal! Dicari banyak orang! Aku lebih bernilai dibanding kalian semua!”
Ayam-ayam pun manggut-manggut. Mereka tak pernah melihat ladang, tak tahu apa yang benar dan yang tidak. Bagi mereka, kata-kata sang kambing terdengar masuk akal. Jika dia berbicara dengan begitu percaya diri, pastilah itu benar. Dan lagipula, siapa yang mau berdebat dengan seekor kambing tua yang begitu yakin akan kehebatannya?
Namun, kenyataan berkata lain. Susu yang dihasilkan sang kambing tua tidak lagi sebagus dulu. Banyak yang harus dibuang karena kualitasnya buruk. Petani yang merawatnya mulai berpikir untuk menggantinya dengan kambing baru yang lebih sehat dan lebih produktif. Tapi karena keterbatasan dana, ia tidak bisa menambah kambing baru begitu saja. Satu-satunya pilihan adalah menyingkirkan sang kambing tua agar digantikan oleh yang lebih baik.
Suatu hari, ketika kabar ini sampai ke telinga sang kambing, ia merasa dipermalukan. Ia murka. Bagaimana mungkin petani tidak lagi menghargainya? Setelah semua yang telah ia berikan? Dengan marah, ia menendang pagar kandangnya, merusak beberapa papan kayu, dan berteriak kepada ayam-ayam yang setia mendengarkannya.
“Kalian akan menyesal telah melakukan ini kepadaku! Aku lebih dari sekadar kambing biasa! Aku ini sehebat singa! Aku ditakdirkan untuk hal yang lebih besar, bukan sekadar hidup di peternakan ini!”
Tanpa berpikir panjang, ia pun pergi. Dengan langkah penuh percaya diri, ia meninggalkan kandangnya dan menuju ladang luas yang selama ini hanya ia ceritakan lewat dongeng-dongengnya. Ia punya satu tujuan: bergabung dengan kawanan singa. Jika selama ini ia merasa dirinya sehebat singa, maka pastilah singa-singa itu akan menerimanya sebagai bagian dari mereka.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang, sang kambing melihat apa yang ia cari—sekawanan singa yang sedang beristirahat di bawah bayangan pohon besar. Dengan dada membusung dan kepala terangkat tinggi, ia berjalan mendekati mereka.
“Aku adalah bagian dari kalian!” katanya dengan lantang. “Aku seekor singa! Aku sekuat kalian! Aku punya pengalaman di ladang, aku ditakuti oleh banyak hewan!”
Para singa yang awalnya sedang bersantai kini mulai menoleh. Salah satu singa muda mengangkat kepalanya, menatap kambing itu dengan bingung. Singa lain mulai berdiri, berjalan mendekat, mengendus tubuh sang kambing yang gemetaran meski mulutnya masih berbicara dengan penuh percaya diri.
“Aku tahu betul tentang kalian! Aku lebih hebat dari yang kalian kira! Aku—”
Tiba-tiba, tanpa peringatan, salah satu singa menerkamnya. Giginya yang tajam langsung menancap ke leher kambing malang itu. Dalam sekejap, suara kambing yang tadi begitu lantang berubah menjadi jeritan ketakutan. Darah mengalir ke tanah, dan kawanan singa pun dengan cepat mengelilinginya, menjadikannya santapan siang yang lezat.
Di kandang yang jauh dari ladang, ayam-ayam yang biasa mendengarkan cerita sang kambing terus menjalani hidup mereka. Mereka masih berbincang, kadang mengenang kisah-kisah yang dulu diceritakan kambing tua itu.
“Dia pasti sekarang hidup bebas di ladang,” kata salah satu ayam.
“Pasti! Dia itu sehebat singa!” sahut yang lain.
Mereka tidak tahu. Dan mungkin, mereka tidak perlu tahu.
TAMAT
Hikmah dan Analogi dalam Kehidupan Manusia
Kisah "Kambing Berlaga Singa" bukan hanya cerita tentang seekor kambing yang tak tahu diri, tetapi juga cerminan dari manusia yang terlalu percaya diri tanpa menyadari batasannya. Jika diubah menjadi analogi manusia, sang kambing bisa diibaratkan sebagai seseorang yang terlalu sombong atas pencapaiannya, hidup dalam ilusi kejayaan masa lalu, dan menolak menerima realitas bahwa dunia terus berubah.
Pelajaran yang Bisa Diambil:
1. Kesombongan
Tanpa Dasar Akan Menjadi Senjata Makan Tuan
Kambing itu merasa dirinya sehebat singa, padahal pada dasarnya ia tetap seekor
kambing. Dalam kehidupan nyata, ada orang yang terlalu membanggakan dirinya,
menganggap dirinya lebih hebat dari yang sebenarnya, dan meremehkan orang lain.
Namun, ketika akhirnya diuji dalam situasi nyata, ia justru terjatuh karena
ilusi yang ia ciptakan sendiri.
2. Membangun
Identitas Berdasarkan Kebohongan Itu Berbahaya
Kambing terus membanggakan dirinya kepada ayam-ayam yang tidak tahu realitas
luar. Sama seperti orang yang mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang
hanya membenarkan apa pun yang ia katakan (yes-man). Akhirnya, ia percaya pada
kebohongannya sendiri, dan ketika kenyataan menghantam, semuanya runtuh.
3. Dunia
Selalu Bergerak, yang Tak Mau Beradaptasi Akan Tertinggal
Petani yang ingin mengganti kambing itu adalah simbol dari dunia yang terus
berkembang. Jika seseorang tidak mampu beradaptasi dan tetap bergantung pada
kejayaan masa lalu, maka ia akan tersingkir. Seperti seorang pekerja yang
menolak belajar keterampilan baru dan akhirnya digantikan oleh orang yang lebih
muda dan lebih kompeten.
4. Berambisi
Itu Baik, Tapi Kenali Kapasitas Diri
Tidak salah untuk bercita-cita tinggi atau berusaha menjadi lebih baik. Tapi
seperti kambing yang nekat ingin masuk ke kelompok singa, ambisi tanpa
persiapan hanya akan membawa kehancuran. Seperti seseorang yang ingin menjadi
pemimpin, tetapi tidak memiliki kemampuan dan mental yang cukup untuk mengemban
tanggung jawab.
Jika Kambing adalah Seorang Manusia…
Bayangkan seorang karyawan tua di sebuah perusahaan. Dahulu, ia adalah pekerja yang sangat dihormati, banyak berkontribusi, dan memiliki pengalaman panjang. Namun, seiring berjalannya waktu, keterampilannya tidak lagi relevan, sementara generasi muda yang lebih inovatif mulai mengambil alih.
Alih-alih beradaptasi atau menerima kenyataan bahwa dunia berubah, ia tetap keras kepala. Ia membanggakan pencapaiannya di masa lalu, meremehkan rekan-rekan mudanya, dan menganggap dirinya masih "sangat dibutuhkan". Saat akhirnya perusahaan memutuskan untuk menggantikannya, ia marah, merasa dikhianati, dan mencoba mencari tempat baru yang bisa mengakui "kehebatannya".
Tapi, dunia luar tak semudah yang ia kira. Ia mencoba masuk ke lingkungan yang lebih keras, berharap bisa diakui. Namun, di sana ia justru tidak dihargai, bahkan mungkin dimanfaatkan atau dihancurkan.
Kesimpulan
Hidup ini adalah perjalanan yang terus berubah. Jangan terjebak dalam ilusi kehebatan sendiri. Adaptasi, rendah hati, dan terus belajar adalah kunci agar tidak terjerumus ke dalam nasib seperti "kambing berlaga singa".