Senja di persawahan selalu membawa keheningan yang mendalam. Angin berhembus lembut, menggerakkan padi yang menjulang. Seorang pria berdiri di tengah ladang, memandangi hamparan hijau yang seolah tak berujung. Dia mengusap dahinya, mengingat sesuatu yang tak pernah ia pahami sepenuhnya—bayangan seorang anak yang berlari mengejar bus.
“Kenapa ini terasa begitu nyata?” gumamnya.
Langkahnya perlahan membawanya lebih jauh ke tengah sawah, menuju sebuah gubuk kecil yang seolah memanggil. Saat itu, angin berhenti, dan udara di sekitarnya terasa berat. Tiba-tiba, suara mesin bus yang samar terdengar, meskipun tidak ada jalan raya di sekitarnya.
Lalu dia melihatnya. Anak itu. Sosok kecil yang dulu hanya ada dalam ingatannya. Bocah itu berdiri di kejauhan, menatap langsung ke arahnya. Bus yang pernah ia lihat dalam bayangannya muncul di belakang anak itu, berhenti di tempat yang tak masuk akal di tengah ladang. Pintu bus terbuka perlahan, dan pria itu merasakan tubuhnya ditarik menuju sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Dua Bayangan yang Saling Bertemu
Saat pria itu melangkah mendekat, bocah yang berdiri di sisi bus tampak cemas, tapi tetap bertahan di tempatnya.
“Kamu siapa?” tanya pria itu dengan suara serak.
Bocah itu memiringkan kepala, seolah tak percaya dengan pertanyaannya. “Aku? Bukankah seharusnya kamu tahu? Kamu melihatku dulu, dan aku melihatmu sekarang. Kita adalah satu, bukan?”
Pria itu mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus tergerak oleh kata-kata anak itu. “Satu? Apa maksudmu? Aku mengingatmu, tapi ini... ini tidak mungkin.”
Anak itu tersenyum tipis, mengangguk. “Kamu sedang mengejar sesuatu yang tidak pernah berhenti. Tapi aku hanya berdiri di sini, menunggu bus yang akan membawamu kembali ke tempat yang seharusnya.”
“Tempat yang seharusnya?” pria itu bertanya. Ia merasakan hatinya berdegup kencang, seperti mengetahui jawabannya tanpa ingin mengakuinya.
Percakapan di Antara Waktu
Pria itu duduk di samping bocah tersebut, di bawah langit senja yang perlahan berubah gelap. Mereka berbicara lama, seperti teman lama yang akhirnya bertemu kembali. Bocah itu berbagi ceritanya tentang perjalanan yang ia tunggu-tunggu tetapi tak pernah datang, sementara pria itu menceritakan betapa ia terus mengejar sesuatu yang selalu di luar jangkauan.
“Aku dulu mengira, jika aku cukup cepat, aku bisa mencapai apa yang aku inginkan,” kata pria itu. “Tapi semakin aku berlari, semakin jauh rasanya.”
Anak itu mengangguk. “Dan aku pikir, jika aku berdiri cukup lama, bus itu akan membawaku ke tempat yang lebih baik. Tapi ternyata, aku hanya diam di sini, melihat dunia terus bergerak tanpa aku.”
Hening sejenak. Angin malam mulai membawa hawa dingin.
“Jadi, apa yang seharusnya kita lakukan?” tanya pria itu akhirnya.
“Mungkin...” anak itu menjawab, “Kita bisa berjalan bersama ke arah yang kita pilih, tanpa harus mengejar atau menunggu. Kita membuat perjalanan ini berarti, bukan hanya tentang sampai.”
Kesimpulan Perjalanan
Pria itu berdiri, menatap bus yang masih menunggu di sana. Namun, dia tidak merasa perlu naik lagi. “Ayo,” katanya kepada bocah itu. “Kita akan berjalan. Bukan untuk mengejar, bukan untuk menunggu, tapi untuk melihat dunia yang belum pernah kita perhatikan.”
Bocah itu tersenyum lebar dan mengangguk. Bersama-sama, mereka melangkah menjauh dari bus, menuju jalan setapak yang belum pernah mereka tempuh sebelumnya. Langit malam dipenuhi bintang, seolah memberkati perjalanan mereka.
Dan di kejauhan, bus itu perlahan menghilang, meninggalkan hanya jejak samar di udara.
Pesan yang Tersisa
Hidup adalah perjalanan yang penuh pilihan, dan sering kali kita terjebak antara mengejar atau menunggu. Tapi mungkin, yang paling penting adalah belajar berjalan—menikmati setiap langkah, tanpa terlalu terikat pada tujuan. Sebab dalam perjalanan itu sendiri, kita menemukan siapa diri kita sebenarnya.