Di sebuah negeri yang katanya gemilang, pendidikan adalah jembatan menuju masa depan. Begitu kata para pemimpinnya, yang duduk di kursi empuk dengan jas mahal dan pidato menggelegar. Namun, di balik semua janji manis itu, kenyataan berbicara lain.
Di negeri ini, anak-anak bangun pagi dengan mata lelah. Bukan karena mereka begadang menulis ide-ide brilian, tapi karena mereka harus menghafal 50 halaman teori yang tidak akan pernah mereka gunakan dalam hidup. Di sekolah, mereka duduk rapi, mendengarkan guru yang membaca buku teks dengan suara monoton, seolah-olah mereka adalah kaset rekaman dari masa lalu.
"Anak-anak, ujian akan segera tiba! Kalian harus menghafal semua rumus ini. Tidak perlu paham, cukup ingat saja!" kata seorang guru dengan penuh semangat, meskipun dalam hati ia tahu, rumus-rumus itu akan terlupakan secepat mereka meninggalkan ruang ujian.
Sistem pendidikan di negeri ini selalu berubah setiap kali pemimpin baru datang. Hari ini ujian nasional dihapus, besok dibuat lagi dengan nama berbeda. Kurikulum direvisi, tapi hanya mengganti sampul tanpa menyentuh isinya. Setiap menteri yang datang membawa sistem baru, seolah pendidikan adalah mainan percobaan yang bisa dibongkar pasang sesuka hati.
Di kelas-kelas, anak-anak dipaksa menghafal sejarah yang dipilih oleh pemerintah, bukan sejarah yang mengajarkan mereka berpikir kritis. Mereka diajari rumus-rumus yang katanya penting, tapi tak pernah diperlihatkan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata. Mereka diwajibkan membaca sastra kuno, tapi tak pernah diajak berdiskusi tentang maknanya.
"Pak, kenapa kita harus belajar semua ini kalau nantinya tidak berguna?" tanya seorang murid.
"Karena itulah yang ada di kurikulum." jawab sang guru singkat.
Guru-guru di negeri ini banyak yang mengajar hanya karena mereka butuh pekerjaan. Mereka menghafal materi dari buku teks dan mengulangnya di depan kelas tanpa peduli apakah murid-muridnya paham atau tidak. Inovasi dalam pembelajaran dianggap membuang waktu. Diskusi dianggap pemberontakan. Bertanya terlalu banyak dianggap tidak sopan.
Di sisi lain, para orang tua juga tidak banyak membantu. Mereka tidak peduli apakah anaknya memahami pelajaran, selama nilainya tinggi. Nilai rapor menjadi lebih penting daripada pemahaman. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan mental robot—pandai menghafal, tapi tidak tahu bagaimana berpikir mandiri.
Di luar sekolah, dunia berubah dengan kecepatan luar biasa. Teknologi berkembang, inovasi lahir setiap hari. Tapi anak-anak negeri ini masih disuruh menghafal hal-hal yang sudah usang. Sementara negara lain mencetak ilmuwan, insinyur, dan inovator, negeri ini mencetak jutaan lulusan yang ingin bekerja namun tidak siap kerja, bukan generasi yang siap menciptakan lapangan pekerjaan.
Yang lebih menyedihkan, pendidikan hanya menjadi alat politik. Para pemimpin berbicara tentang mencerdaskan bangsa, tapi yang mereka lakukan hanyalah mengganti aturan tanpa memahami akar masalahnya. Mereka membangun sekolah-sekolah megah, tapi tidak peduli pada kualitas pendidikan di dalamnya.
Pada akhirnya, negeri ini bukanlah tempat di mana pendidikan membawa harapan. Sebaliknya, pendidikan telah menjadi beban. Sebuah sistem yang berjalan tanpa arah, hanya menjadi alat percobaan bagi mereka yang berkuasa. Dan sementara para pejabat sibuk merancang kebijakan baru yang hanya bertahan satu atau dua tahun, anak-anak negeri ini tumbuh menjadi generasi yang semakin bingung, semakin lelah, dan semakin bodoh.
Mereka tidak butuh perubahan kurikulum setiap lima tahun. Mereka butuh pendidikan yang mengajarkan mereka berpikir, bukan sekadar menghafal. Mereka butuh guru yang menginspirasi, bukan yang hanya menjalankan kewajiban. Mereka butuh sistem yang membimbing mereka menuju masa depan, bukan yang membuat mereka tersesat dalam ketidakpastian.
Tapi di negeri tanpa arah ini, siapa yang peduli?